Kamis, 20 Mei 2010

qiyas

A. PENDAHULUAN
Allah telah menetapkan hukum bagi hamba-hamba Nya sekirannya tidak untuk kemasalahatan hamba itu. Kemaalahatan hamba inilah yang menjadi tujuan akhir diciptakan suatu perundang-undangan. Karena itu apabila ada suatu ‘illat suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.dan diduga keras pula dapat memberikan kamas lahatan kepada hamba. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber tehadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan demikian Qiyas merupakan sumber perundang-undangan yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru yang dapat menyesuaikan kemaslahatan.
Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Oleh karena itu, jika dilarang minum suatu minuman disebabkan karena mnuman yang mengandung sifat yang memabukkan. Maka logislah kalau setiap meinuman yang mangandung sifat sifat yang memabukkan diqiyaskan dengan minu man tersebut. Tidak terdapat perselisihan diantara manusia bahwa sesuatu yang berlaku pada salah satu dar dua hal yang serupa. Qiyas itu adalah didasarkan kepada zhann (dugaan kerasa) karena illat hukum suatu peristiwa yang mempu nyai nash itu pun berdasarkan dugaannya adalah haram. Qiyaskan kepada larangan mengahrdik mereka.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggalli hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tan[a mengakaitkannya kepada nash. Maskipun qiyas tidak menggunakn nash secara lansung.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum diluar bidang ibadah, dapat diketahui. Alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah alasan hukum yang rasional itu oleh ulama disebut “illat”. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialaah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul ifqh membe rikan definisi yang berbeda-beda tergantung pada pandangan mereka terha dap kedudukan qiyas dalam istimbath hukum.
Dalam hal ini mereka membagi dua golongan.
Golongan pertama, menytakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan meujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan diptaan syari’. Yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan Hujjat Ilahiyah”.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Qabbah Ad-Zuhaili. Qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antaa keduanya.
Ibn Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u Al-Jawami” qiyas adalah:
حمل معلوم على معلوم لمسا داته فى علة حكمه عند الحامل
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kasamaan dalam iilat hukumnya menurut mujtahid yang menghubung kannya”.
Dari bebrapa definisi qiyas di atas diketahui hakikat qiyas yaitu ada dua kasus hukum yang mempunai illat hukum yang sama. Salah satu dari dua kasus hukum yang sama illatnya itu telah ada hukumnya di dalam nash, sementara kasus lain tidak ditetapkan hukumnya secara tegas oleh nash tertentu lalu disamakan hukum yang telah ada nashnya karena ada kesamaan illat antara keduanya”.

2. Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash, cara ini memerlukan kerja keras yang luar biasa dan tidak cukup hanya denan pemahaman makna lafadz saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash nya, apabila ternyata ada illat itu, Faqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu didasarkan keadaan illat. Dengan demikian yang dicari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
Selanjutnya jika illat tersebut ternyata betul-beul terdapat pada kasus-kasus itu adalah satu. Yakni ketentuan hukum yang terdapat pada nash (makhshus alaih) menjalar pada kasus-kauss yang tidak ada nashnya”.

3. Rukun Qiyas
Sebagai dalil istimbath hukum, ada empat tukun yang harus terwujud dalam qiyas, yaitu, ashl, hukum ashl, furu’, dan illat.
a. Ashl
Ashl merupakan masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al Qur’an ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis’alaih (tempat mengqiyaskan) adapun sontoh ashl adalah kesamaran khamar yang ditegaskan hukumnya melalui fiman Allah surat Al-maidah:90


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
b. Hukum Ashl adalah hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma’ yang hendak diberlakukan pada furu’ (cabang) dengan cara qiyas. Menurut Abu Zahrah hukum ashl itu harus memenuhi syarat berikut.
1) Hukum ashl harus hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan.
2) Hukum ashl tersebut dapat ditelusuri illat (motivasi) hukumnya.
c. Furu’
Furu’ atau cabang adalah sesuatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al qur’an, sunnah dan ijma yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
Adapun syarat-syarat furu’ itu sebagai berikut.
1. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan tantang hukum furu’ atau cabang.
2. Tidak illat yang terdapat pada cabang sama dengan illat yang terdapat pada cabang sama dengan illat yang terdapat pada ashl, baik dalam zat nya maupun jenis nya.
3. Hukum cabang yang ditetapkan melalui qiyas harus samaaa dengan hukum ashl sebagai terdapat mengqiyaskannya.

d. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa berobah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahab Khallaf illat adalah suatu sifat pada ashl yang menjadi landasan adanya hukum.

4. Qiyas Sebagai Landasan Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’, diantaranya mereka yang megatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadkan sandaran ijma. Dengan argumen bahwa ijma’ itu qath’I, sedangakan dalil qiyas adalah zhanni. Menurut kaidah yang Qath’i itu tidak sah didasarkan pada yang zhanni.
Para ulama yang mengatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’. Beragumen bahwa dal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama. Para sahabat setelah wafatnya nabi besar Muhammad SAW. Berbeda pendapat tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya sebagai khalifah. Adapun mereka yang menyatakan ijma’ itu adalah dalil Qath’i, sedangkan qiyas adalah dalil zhanni tidak bisa diterima, karena kabar ahad juga termasuk zhanni, tetrapi para ulama menyatakan sah dijadikan sandaran ijma”.

5. Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama berpendirian bahawa qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber hukum syriat) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syariyat, yag demikian itu apabila pada suatu peristiwa itu tidak ada ketetapan hukumnya dari suatu nash atau ijma’ dan mem[unyai persamaan illat dengan peristiwa yang mempunyai nash. Golongan ini menetapkan kehujjahan qiyas)
Ulama nizhamiyah, zhahiriyah dan sebagian ulama aliran syiah berpendapat bahwa qiyas itu bukan menjadi hujjah syar’iyah yang dapat untuk menetapkan hukum. Mereka ini keudian terkenal dengan nama Nfatul qiyas (golongan yang mengingkari/menafikan kehujahan qiyas). Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdri atas Al Qur’an, as sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat dan logika. Ialah


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa:59)
Dalam ayat tersebut Tuhan memrintah kepada orang-orang mu’min, bila terjadi perselisihan pendapat perihal hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al Qura’an, as sunnah dan keputusan dari orang –orang yang diserahi kejuasaan tidak ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah an Rasul Nya.

6. Macam-Macam Qiyas
Menurut Wahbah Al Zuhaili. Dilihat dari segi perbandingan antara illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat pada cabang maka qiyas terbagi menjadi tiga macam:
a. Qiyas aula yaitu yang terdapat pada furu’ lebih utama dari illat yang tedapat pada ashl misalnya, mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang uta, kepada haram hukum mengatakan “ah” yang terdapat pada firman Allah surat An Isra’ 17-25
فلا تقل لهما أف ولا تنهر هما
Artinya: Maka sekali-kali jangan lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka.
b. Qiyas Musawi, yaitu illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah yang terdapat pada surat An Nisa:10

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim dengan illat dapat melenyapkan harta tersebut.
c. Qiyas al ِِAdna, yaitu illat yang terdapat pada cabang lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat pada ashl, misalnya firman Allah surat Al Maidah ayat 90 tentang larangan meminum kahmar denan illat memabukkan.
Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam.
a. Qiyas jalli, yaitu qiyas yang dinyatakan illatnya secara tegas dalam Al Quran dan sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan illatnya.
b. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya diistimbathkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuha yang menggunakan benda tajam karena ada kesamaan illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagai mana terdaapt pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.

7. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum.
Syara’ Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Kelompok jumhur ulama yang menjadian qiyas sebagai dalil syara’ mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al Qur’an atau sunnah dan dalam ijma’ ulama, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘Ilat suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tuujuan diterapkan suatu hukum syara’.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah merekapun berusaha menggabungkan dua hal yang terlihat kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga qiyas dapat membatasi sebagaian ayat al Qura’an atau sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:
1) Dalil al Qur’an
Allah SWT memberikan petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menggunakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Yasin, ayat 78-79


Artinya: Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
2) Dalil sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas, adalah:
Hadist mengenai percakapan nabi dengan Muaz ibn Jabbal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi pengurusan di sana..
Kelompok ulama Zhahiriyah juga menilai bahwa hadist tersebut salah maudhu’ (di buat-buat) dan jelas kebohonganya, karena musatahil ada hukum yang tidak ada dalam al Qura’an surat al an ‘aam: 38
مَا فَرَطْنَا فِى الْكِتَبِ مِنْ شَئ
Artinya: Tiada kami alpakan sesuatu apaun di dalam al Kitab (al Qur’an).
3) Atsar shahabi
Adapun argumen jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat.
Dalam penggunaan qiyas adalah.
Surat Umar ibn Khattab kepada Abu Musa al Asy’ari sewaktu ditulis menjadi qadhi di Yaman, Umar berkata.
إقض بكتاب الله فإن لم بجد فبسنة رسول الله فإن لم بجد فجتهم رأيك
Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah, Ia tidak menemukannya maka putuskan berdasarkan sunnah Rasulnya. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam sunnah berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu”.

8. Syarat-Syarat Qiyas
Membicarakan syarat-syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsure-unsur dari qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah:
a. Maqis alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya
Dalam memberikan nama kepada maqis alaih itu trdapat beberapa pendapat, ada yang menamakannya ashl (sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain). Ada juga yang menggunakan istilah محل لحكم المشيه به (wadah atau tempat yang wadah itu terdapat hukum yang disamakan kepada wadah itu).
Meskipun demikian ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan sebagai berikut:
1) Ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, beik secara ra’yu dan sayakhisi (lingkungan yang sempit atau maksud terbatas).
2) Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya illat pada ushul maqis alaih itu.
Persyaratan ini dikemukakan Basyir al-Nasiri (Basyir ibn Giyas bin Abi Karimah), salah seorang tokoh kelompok mubtadi’ah.
b. Maqis (sesuatu yang akan dlaksanakan hukumnya dengan aslh)
Untuk maqis ini kebanyakan ulama menggunakan kata “furu’” ( sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain) ada yang menyatakan bahwa maqis adalah المشيه محل (wadah yang hukum yang diserupakan dari yang lain). Ada pula yang meyatakan nya محل المشيه لحكم (hukum dari wadah yang disamakan).
Untuk maqis ini terdapat beberapa syarat, sebagian dari syarat itu disepakati para ulama dan sebgaian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu, syarat-syarat maqis itu adalah sebagai berikut:
1) Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan illat yang harus terdapat pada ashl.
2) Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashl dalam hal illat maupun hukum, baik menyangkut ‘ain atau jenis.



C. KESIMPULAN
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al Qur’an dan sunnah itidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Dari uraian tentang beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas menurut dua versi yaiut:
1. Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.
2. Satu diantara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3. Berdasarkan illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.
Qiyas terdiri dari
a. Pengertian qiays
b. Operasional qiyas
c. Rukun qiyas
d. Qiyas sebagai sandaran ijma’
e. Kehujjahan qiyas
f. Macam-macam qiyas
g. Qiyas sebagai dalil hukum syara’
h. Syarat-syarat qiyas.

aksiologi

A. PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan yang merupakan produk kegiatan berpikir manusia adalah wahana untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses penerapan itulah yang menghasilkan peralatan-peralatan dan berbagai sarana hidup seperti kapak dan batu di zaman dahulu hingga peralatan komputer di zaman sekarang ini, serta alat-alat yang lebih canggih (mutakhir) lagi untuk masa-masa mendatang.
Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan tidak terlepas dari sejarah perkembangan filsafat ilmu, sehingga muncullah ilmuan yang digolongkan sebagai filosof dimana mereka menyakini adanya hubungan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu yang dimaksud di sini adalah sistem kebenaran ilmu sebagai hasil dari berfikir radikal, sistematis dan universal. Oleh karena itu, Filsafat ilmu hadir sebagai upaya menata kembali peran dan fungsi IPTEK sesuai dengan tujuannya, yakni mempokuskan diri terhadap kebahagian umat manusia.
Meskipun demikian, pada hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan tetap didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni; apa yang ingin diketahui, bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, dan bagaimana nilai pengetahuan itu. Masalah yang terakhir ini, yaitu nilai ilmu pengetahuan ber-kenaan dengan aksiologi. Karena itu menarik untuk dikaji apa yang dikandung dalam ilmu pengetahuan dan kaitannya dengan aksiologi, pertimbangan nilai, serta hal lain yang terkait dengannya.

B. PEMBAHASAN
1. Tinjauan tentang Ilmu dari segi Nilai (Aksiologi)
Kata “ilmu” secara etimologis dalam berasal dari bahasa Arab (علم) mengandung arti mengetahui, mengenal memberi tanda dan petunjuk. Karena itu, dipahami bahwa ilmu adalah sebagai suatu pengetahuan secara praktis yang dipakai untuk menunjuk pada pengetahuan sistematis tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan subyek tertentu.
Untuk lebih jelasnya, perlu pula dikemukakan beberapa pendapat tentang pengertian ilmu secara terminologi. Dalam hal ini menurut John Ziman menyatakan bahwa ilmu adalah kajian tentang dunia material yang memiliki obyek tertentu. Pengertian ini mengindikasikan bahwa ilmu memiliki batasan tertentu yang harus dikelolah sehingga bermuara pada suatu pengetahuan tentang sesuatu.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia dikatakan bahwa pengertian ilmu adalah pengetahuan secara mutlak tentang sesuatu yang disusun secara sistematis menurut metode-metode tertentu dan dapat digunakan untuk merenungkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan. Pengertian ini megindikasikan bahwa ilmu itu memiliki corak tersendiri menurut suatu ketentuan yang terwujud dari hasil analisis-analisis secara konprehensif.
Dari beberapa pengertian ilmu yang telah disebutkan di atas, maka dapat dipahami bahwa batasan ilmu merujuk pada hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu yang akan menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Dalam pandangan Nurcholish Madjid salah seorang pemikir Muslim di Indonesia juga bahwa ilmu pengetahuan itu netral. Lebih lanjutnya menurutnya bahwa,
Ilmu pengetahuan baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai (bebas nilai) kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memiliki dan menguasainya.
Sedangkan Aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani “axios” yang berarti bermanfaat dan ‘logos’ berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sejalan dengan itu, Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu.
Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik. Dengan demikian aksiologi adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai-nilai atau norma-norma terhadap sesuatu ilmu.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan dipahami ilmu pengetahuan mengandung nilai, dan kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya bukan untuk kebesaran ilmu pengetahuan semata yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas nilai melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia.

2. Aksiologi dalam Pandangan Aliran-aliran Filsafat
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat, yakni :
a. Pandangan Aksiologi Progresivisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah William James (1842-1910), Hans Vahinger, Ferdinant Sciller, Georger Santayana, dan Jhon Dewey. Menurut progressivisme, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. dengan demikian, adanya pergaulan dalam masyarakat dapat menimbulkan nilai-nilai. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan, dan kecerdasan dan individu-individu. Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan antara manusia dan lingkungannya, baik yang terwujud sebagai lingkungan fisik maupun kebudayaan atau manusia.
b. Pandangan Aksiologi Essensialisme
Tokoh yang berpengaruh dalam aliran ini adalah Desiderius Erasmus, John Amos Comenius (1592- 1670), John Locke (1632-1704), John Hendrick Pestalalozzi (1746-1827), John Frederich Frobel (1782-1852), Johann Fiedirich Herbanrth (1776-1841),dan William T. Horris (1835-1909). Bagi aliran ini, nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme karena aliran essensialisme terbina dari dua pandangan tersebut.
1. Teori nilai menurut idealisme
Idealisme berpandangan bahwa hukum-hukum etika adalah hukum kosmos karena itu seseorang dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dalam pelaksanaan hukum-hukum itu. Menurut idealisme, sikap, tingkah laku, dan ekspresi perasaan juga mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Untuk itu, ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan pakaian dan suasana kesungguhan tersebut.
2. Teori nilai menurut realisme
Menurut realisme, sumber semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkungan hidupnya. Realisme memandang bahwa baik dan buruknya keadaan manusia tergantung pada keturunan dan lingkungannya. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan antara pembawa-pembawa fisiologis dan pengaruh-pengaruh lingkungannya. George Santayana memadukan pandangan idealisme dan realisme dalam suatu sintesa dengan menyatakan bahwa “nilai” itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep tunggal, karena minat, perhatian, dan pengalaman seseorang turut menentukan adanya kualitas tertentu. Walaupun idealisme menjunjung tinggi asas otoriter atau nilai-nilai, namun tetap mengakui bahwa pribadi secara aktif menentukan nilai-nilai itu atas dirinya sendiri.
3. Pandangan Aksiologi Perenialisme
Tokoh utama aliran ini diantaranya Aristoteles (394 SM) St. Thomas Aquinas. Perenialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan lingkungan sosial dan kultural yang lain. Sedangkan menyangkut nilai aliran ini memandangnya berdasarkan asas-asas ’supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Dengan asas seperti itu, tidak hanya ontologi, dan epistemolagi yang didasarkan pada teologi dan supernatural, tetapi juga aksiologi. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh potensi kebaikan dan keburukan yang ada pada dirinya. Masalah nilai merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada asas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia terletak pada jiwanya. Oleh karena itulah hakikat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya.
4. Pandangan Aksiologi Rekonslruksionisme
Aliran rekonstruksionalisme adalah aliran yang berusaha merombak kebudayaan modern. Sejalan dengan pandangan perenialisme yang memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan,dan kesimpangsiuran. Aliran rekonstruksionalisme dalam memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.

3. Sumbangan Aksiologi Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan yang diperoleh merupakan sumber daya manusia. SDM ini merupakan derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis, perolehan ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha manusia harus mengantisipasi hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.
Telah dikemukakan pada bagian pendahuluan bahwa ilmu bebas nilai, dan hal tersebut menyebabkan banyak penilaian terhadap ilmu pengetahuan. Dalam pemamaham seperti maka keberadaan aksiologi memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Berkaitan dengan itulah, sumbangan aksiologi sebagaimana dalam berbagai aliran filsafat terhadap ilmu pengetahuan dapat dikemukakan sebagai berikut :
Aliran filsafat progressivisme telah memberikan sumbangan yang besar terhadap ilmu karena telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Oleh karena itu sekolah harus mengupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (sekolah sambil berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual.
Aliran essensialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu. Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pencarian ilmu pengetahuan dengan memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju makrokosmos.
Aliran perenialisme berpandangan bahwa ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Karena itu ilmu pengetahuan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan perolehan ilmu adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.
Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses ilmu pengetahuan melalui pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.
Dengan demikian implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di ilmu pengetahuan harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan secara praktis dan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan yakni membawa kepribadian secara sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.


C. PENUTUP
Berdasar dari uraian-uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan hasil interaksi manusia dengan obyek tertentu menghasilkan sesuatu pengetahuan dan itulah yang disebut ilmu. Ilmu pengetahuan “bebas nilai (value free of sciences)” ia netral, dan karena ini maka ilmu tersebut berkaitan dengan pertimbangan aksiologi. Aksiolgi yang dimaksud di sini adalah cabang filsafat yang mempelajari nilai-nilai. Atau dengan kata lain aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan.
Aksiologi dalam pandangan aliran filsafat dipengaruhi oleh cara pandang dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing aliran filsafat. Terdapat beberapa pandangan tentang hal tersebut, misalnya pandangan aksiologi aliran progresivisme bahwa nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa. Pandangan aksiologi dalam aliran essensialisme menyatakan bahwa nilai-nilai berasal dari pandangan-pandangan idealisme dan realisme. Pandangan aksiologi dalam aliran perenialisme adalah nilai berdasarkan asas-asas ’supernatular‘, yakni menerima universal yang abadi. Pandangan aksiologi dalam aliran rekonslruksionisme memandang nilai adalah untuk memecahkan masalah, mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan manusia yang memerlukan kerja sama.
Oleh karena ilmu bebas nilai, maka pentimbangan nilai (aksiologi) memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Sumbangan aksiologi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aliran filsafat yang disebutkan di atas. Di samping itu, aksiologi ini juga memberikan sumbangan terhadap ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konsep islamisasi sains dewasa ini. Dengan demikian, secara metodologis, pertimbangan nilai dapat tereksplikasikan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA

 http://jaringskripsi.wordpress.com./2009/09/22/aksiologi/


MAKALAH
FILSAFAT ILMU
“LANDASAN AKSIOLOGI ”


Dosen Pembimbing: NURHASANAH, S.Ag, M.Hum.










Di susun oleh :
NAMA : HUSNUL HABIBANA
NIM : TP. 070634
LOKAL : PAI VA






Fakultas Tarbiyah
PENDIDIKAN AGAMAISLAM
Institut Agama Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin
Jambi
2009/2010

kompetensi sosial

GURU DAN KOMPETENSI SOSIAL
(Pdt. Dr. Rubin Adi Abraham)
Keberhasilan pembelajaran kepada peserta didik sangat ditentukan oleh guru, karena guru adalah pemimpin pembelajaran, fasilitator, dan sekaligus merupakan pusat inisiatif pembelajaran. Itulah sebabnya, guru harus senantiasa mengembangkan kemampuan dirinya. Guru perlu memiliki standar profesi dengan menguasai materi serta strategi pembelajaran dan dapat mendorong siswanya untuk belajar bersungguh-sungguh. Selain standar profesi, guru perlu memiliki standar sebagai berikut:
1. Standar intelektual: guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
2. Standar fisik: guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan diri, peserta didik dan lingkungannya.
3. Standar psikis: guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesionalnya.
4. Standar mental: guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
5. Standar moral: guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
6. Standar sosial: guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
7. Standar spiritual: guru harus beriman kepada Allah yang diwujudkan dalam ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk dapat memperoleh hasil yang baik dalam suatu rangkaian kegiatan pendidikan dan pembelajaran, seorang guru dituntut untuk memiliki kualifikasi tertentu yang disebut juga kompetensi. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan (Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Berarti kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan; kompetensi guru menunjuk kepada performance dan perbuatan yang rasional untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas pendidikan.
Kompetensi bagi guru untuk tujuan pendidikan secara umum berkaitan dengan empat aspek, yaitu kompetensi: a) paedagogik, b) profesional, c) kepribadian, d) sosial. Kompetensi ini bukanlah suatu titik akhir dari suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning process).
Kompetensi paedagogik dan profesional meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, serta kemahiran untuk melaksanakannya dalam proses belajar mengajar. Kompetensi ini dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan melalui proses pendidikan akademik dan profesi suatu lembaga pendidikan. Namun, kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi etika, moral, pengabdian, kemampuan sosial, dan spiritual merupakan kristalisasi pengalaman dan pergaulan seorang guru, yang terbentuk dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah tempat melaksanakan tugas.
Pengembangan kompetensi kepribadian (personal) dan sosial ini sulit dilakukan oleh lembaga resmi karena kualitas kompetensi ini ditempa serta dipengaruhi oleh kondisi dan situasi masyarakat luas, lingkungan dan pergaulan hidup termasuk pengalaman dalam tugas. Padahal, berbagai lingkungan tersebut seringkali merupakan “tempat yang bermasalah dan berpenyakit masyarakat”, seperti hedonis, KKN, materialistis, pragmatis, jalan pintas, kecurangan, dan persaingan yang tidak sehat. Dalam lingkungan yang demikian, nilai-nilai yang telah diperoleh di lembaga pendidikan, dan telah membentuk karakter peserta didik “yang baik” bisa luntur setelah berinteraksi dengan masyarakat. Siaran televisi misalnya, sangat kuat pengaruhnya pada budaya dan gaya hidup anak-anak, remaja dan pemuda. Contoh konkritnya, program “Smack Down” yang telah memakan banyak korban, bahkan korbannya adalah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah sekolah dasar.
Dengan demikian guru tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia, dan masyarakat.
B. KOMPETENSI SOSIAL SEORANG GURU
Ada empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam.
2. Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya.
3. Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan.
4. Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Tuhan Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain.
Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar.
Memang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus pandai bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok.
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat, untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal.
Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
Bila guru memiliki kompetensi sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa perduli, empati dan simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membangun orang lain. Mereka santun dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku.
Sumber kecerdasan adalah intelektual sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal manusia. Dari akal muncul kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu kecerdasan bicara dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan sosial.
Sosial inteligensi membentuk manusia yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya yang menderita merupakan penderitaan bersama. Sebaliknya apabila ada kebahagiaan menjadi/merupakan kebahagiaan seluruh masyarakat. Dalam tingkatan nasional, sosial intelegensi membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam. Jika kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga mereka menjadi warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
C. KOMPETENSI SOSIAL GURU KRISTEN
Guru Kristen perlu memahami pribadi Yesus sebagai guru yang harus diteladani-nya dalam hidup sehari-hari dan dalam pelaksanaan tugas keguruan. Howard G. Hendricks mengemukakan bahwa sedikitnya ada enam segi kehidupan Yesus yang senantiasa mengagumkan, yang perlu diteladani oleh seorang guru Kristen. (1) Dalam segi kepribadian, Yesus memperlihatkan kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian antara ucapan dengan perbuatan. Ia pun menuntut kesesuaian itu terjadi dalam diri murid-murid-Nya. (2) Pengajaran-Nya sederhana, realistis, tidak mengambang. Ajaran-Nya selalu sederhana dalam arti menyinggung perkara-perkara hidup sehari-hari. 3) Ia sangat relasional, dalam arti mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. 4) Isi berita-Nya bersumber dari Dia yang mengutus-Nya (Mat. 11:27; Yoh. 5:19). Selain tetap relevan bagi pendengar-Nya, ajaran Yesus bersifat otoritatif dan efektif (Mat. 7:28-29). 5) Motivasi kerja-Nya adalah kasih (Yoh. 1:14; Flp. 2:5-11). Ia menerima orang sebagaimana adanya, serta mendorong mereka untuk berserah kepada Allah. 6) Metode-Nya bervariasi, namun sangat kreatif. Ia bertanya dan bercerita. Ia melibatkan orang untuk memikirkan masalah yang diajukan. Selain itu, Ia mengenal orang yang dilayani-Nya, tingkat perkembangan serta kerohanian mereka.
Salah satu keteladanan Yesus seperti yang dikemukakan oleh Hendricks, ialah: Ia sangat relasional, mementingkan hubungan antar pribadi yang harmonis. Salah satu julukan Yesus adalah: sahabat orang berdosa (Mat. 11:19). Walaupun Yesus suci dan tidak pernah berdosa, Ia tidak mengisolir diri dan hanya bergaul dengan “komplotan suci”, tapi justru Ia menjalin relasi secara luas dengan banyak orang, untuk menjangkau sebanyak mungkin orang agar mereka menerima keselamatan kekal.
Tujuan hidup orang percaya adalah transformasi (perubahan) ke arah keserupaan dengan Kristus. Transformasi terjadi melalui dan dalam hubungan antar pribadi yang penuh dedikasi dan komitmen (transaksi sosial). Maksudnya, orang harus memberikan tekad untuk rela bersekutu dengan sesamanya, agar ia dapat menerima atau memberi pengaruh yang positif. Pengkomunikasian hidup secara efektif terjadi dalam konteks relasi antar pribadi yang baik. Relasi antar pribadi yang baik melancarkan komunikasi gagasan dan nilai. Kalau hubungan seorang guru sangat baik dengan atau berkenan bagi peserta didiknya, maka pengajarannya akan mendapat tanggapan sangat positif.
Dalam melaksanakan tugasnya untuk mendidik para murid yang dipercayakan kepadanya, seorang guru Kristen diharuskan mengenal muridnya, tidak hanya kemampuan akademisnya, akan tetapi mengenal nama, perilaku, emosi, latar belakang sosial dan budaya, keluarga, ketrampilan lain yang dimiliki murid, ataupun masalah yang dihadapi oleh murid sebagai individu atau sekelompok murid. Pengenalan murid secara baik oleh guru sesungguhnya akan membantu guru dalam membina muridnya secara individu, maupun secara kelompok. Jika guru mengenal murid secara baik untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada murid, maka murid merasa bahwa kepentingan atau kebutuhan mereka diperhatikan oleh guru.
Melihat betapa pentingnya lingkungan sosial dalam kehidupan, maka pendidikan kristiani dalam sekolah harus memikirkan bagaimana ia berfungsi sebagai rekan kerja keluarga dan rekan kerja gereja serta rekan kerja bangsa dalam membentuk serta membekali anak didik. Sekolah Kristen pada dasarnya merupakan wakil keluarga dan wakil gereja dalam memperlengkapi anak didik. Guru dan staf administrasi dengan begitu harus bertumbuh dalam sikap kebapaan atau keibuan sebagaimana yang diteladankan oleh rasul Paulus dalam pembinaan jemaat di Tesalonika. Sebagai ibu, para guru memelihara dan merawat anak didiknya dan sebagai bapa, mereka menasehati dengan bijak (I Tes. 1:7,11).
Terkait dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial, Allah sendiri membagun keluarga sebagai konteks sosial pertumbuhan anak (fungsi sosialisasi). Dia menciptakan umat, masyarakat dan bangsa untuk pertumbuhan individu dan kelompok. Dia pun menjadikan gereja sebagai wadah pertumbuhan individu dalam berbagai aspek. Komunitas dalam jemaat terpanggil untuk saling melengkapi, saling menasehati, saling mengajari (Kol. 3:15-16). Dinasehatkan pula oleh Alkitab agar orang percaya tidak menjauhi pertemuan-pertemuan dengan sesamanya demi pertumbuhan spiritualitasnya (Ibr. 10:24-25).
Dengan demikian seorang guru Kristen tidak boleh hanya membatasi hubungan dirinya hanya dalam kelas, ketika dia mengajar. Dia juga harus terlibat secara langsung dalam kehidupan berjemaat dalam sebuah gereja lokal. Dia juga harus menjadi bagian dari dinamika hidup yang relasional dalam tubuh Kristus yang semestinya diwarnai oleh kasih dan keakraban hubungan. Maksudnya, jika orang-orang yang berinteraksi dalam jemaat didorong oleh kasih yang tulus, mereka akan bersedia membina hubungan yang akrab. Dalam relasi demikian, banyak perkara iman dapat dipelajari. Dengan begitu, pendidikan Kristen harus memberi perhatian terhadap jemaat sebagai tubuh Kristus. Guru Kristen perlu terlibat dalam pelayanan jemaat. Ia dituntut untuk melibatkan diri dalam relasi antar pribadi. Sebagai pribadi ia terpanggil untuk terlibat dalam sharing, kunjungan jemaat, dan dalam pertemuan-pertemuan tertentu. Ia mengupayakan pembinaan orang-orang percaya yang selanjutnya dapat melaksanakan tugas pemuridan dengan kerelaan melayani sebagai hamba dan kesediaan memberi diri sebagai “model” atau teladan. Dengan demikian, pendidikan Kristen harus mengupayakan pemuridan lewat identifikasi, yakni saling mengamati gaya hidup sesama dalam artian positif, bukan hanya berupa pengajaran di kelas sekolah secara formal.
DAFTAR PUSTAKA:
Gangel, Kenneth O; Hendricks, Howard. The Christian Educator’s Handbook on Teaching, Victor Books, 1988.
Sidjabat, B.S. Strategi Pendidikan Kristen. Yogyakarta: ANDI, 1994.
________. Menjadi Guru Profesional: Sebuah Persfektif Kristiani, Bandung : Kalam Hidup, 1994.
Mulyasa, E. Standaar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada, 2006.dahMulmungkkoeratif
Pengertian Kompetensi Guru
Majid (2005:6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru. Diyakini Robotham (1996:27), kompetensi yang diperlukan oleh seseorang tersebut dapat diperoleh baik melalui pendidikan formal maupun pengalaman.
Syah (2000:229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994:1) mengemukakan kompentensi berarti suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif. McAhsan (1981:45), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengemukakan bahwa kompetensi: “…is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan itu Finch & Crunkilton (1979:222), sebagaimana dikutip oleh Mulyasa (2003:38) mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan.Sofo (1999:123) mengemukakan “A competency is composed of skill, knowledge, and attitude, but in particular the consistent applications of those skill, knowledge, and attitude to the standard of performance required in employment”. Dengan kata lain kompetensi tidak hanya mengandung pengetahuan, keterampilan dan sikap, namun yang penting adalah penerapan dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan tersebut dalam pekerjaan.Robbins (2001:37) menyebut kompetensi sebagai ability, yaitu kapasitas seseorang individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan kegiatan mental sedangkan kemampuan fisik adalah kemampuan yang di perlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan.Spencer & Spencer (1993:9) mengatakan “Competency is underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-reference effective and/or superior performance in a job or situation”. Jadi kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang berkaitan dengan kinerja berkriteria efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan dan situasi tertentu. Selanjutnya Spencer & Spencer menjelaskan, kompetensi dikatakan underlying characteristic karena karakteristik merupakan bagian yang mendalam dan melekat pada kepribadian seseorang dan dapat memprediksi berbagai situasi dan jenis pekerjaan. Dikatakan causally related, karena kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. Dikatakan criterion-referenced, karena kompetensi itu benar-benar memprediksi siapa-siapa saja yang kinerjanya baik atau buruk, berdasarkan kriteria atau standar tertentu.Muhaimin (2004:151) menjelaskan kompetensi adalah seperangkat tindakan intelegen penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu melaksankan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Sifat intelegen harus ditunjukan sebagai kemahiran, ketetapan, dan keberhasilan bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Depdiknas (2004:7) merumuskan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.Menurut Syah (2000:230), “kompetensi” adalah kemampuan, kecakapan, keadaan berwenang, atau memenuhi syarat menurut ketentuan hukum. Selanjutnya masih menurut Syah, dikemukakan bahwa kompetensi guru adalah kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara bertanggung jawab dan layak. Jadi kompetensi profesional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Guru yang kompeten dan profesional adalah guru piawi dalam melaksanakan profesinya.Berdasarkan uraian di atas kompetensi guru dapat didefinisikan sebagai penguasaan terhadap pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak dalam menjalankan profesi sebagai guru.
Dimensi-dimensi Kompetensi Guru
Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kompetensi Pedagogik
Dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi pedagogik adalah “kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Depdiknas (2004:9) menyebut kompetensi ini dengan “kompetensi pengelolaan pembelajaran. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian.Kompetensi Menyusun Rencana PembelajaranMenurut Joni (1984:12), kemampuan merencanakan program belajar mengajar mencakup kemampuan: (1) merencanakan pengorganisasian bahan-bahan pengajaran, (2) merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar, (3) merencanakan pengelolaan kelas, (4) merencanakan penggunaan media dan sumber pengajaran; dan (5) merencanakan penilaian prestasi siswa untuk kepentingan pengajaran.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penyusunan rencana pembelajaran meliputi (1) mampu mendeskripsikan tujuan, (2) mampu memilih materi, (3) mampu mengorganisir materi, (4) mampu menentukan metode/strategi pembelajaran, (5) mampu menentukan sumber belajar/media/alat peraga pembelajaran, (6) mampu menyusun perangkat penilaian, (7) mampu menentukan teknik penilaian, dan (8) mampu mengalokasikan waktu.Berdasarkan uraian di atas, merencanakan program belajar mengajar merupakan proyeksi guru mengenai kegiatan yang harus dilakukan siswa selama pembelajaran berlangsung, yang mencakup: merumuskan tujuan, menguraikan deskripsi satuan bahasan, merancang kegiatan belajar mengajar, memilih berbagai media dan sumber belajar, dan merencanakan penilaian penguasaan tujuan.
• a. Kompetensi Melaksanakan Proses Belajar Mengajar
Melaksanakan proses belajar mengajar merupakan tahap pelaksanaan program yang telah disusun. Dalam kegiatan ini kemampuan yang di tuntut adalah keaktifan guru menciptakan dan menumbuhkan kegiatan siswa belajar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Guru harus dapat mengambil keputusan atas dasar penilaian yang tepat, apakah kegiatan belajar mengajar dicukupkan, apakah metodenya diubah, apakah kegiatan yang lalu perlu diulang, manakala siswa belum dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran. Pada tahap ini disamping pengetahuan teori belajar mengajar, pengetahuan tentang siswa, diperlukan pula kemahiran dan keterampilan teknik belajar, misalnya: prinsip-prinsip mengajar, penggunaan alat bantu pengajaran, penggunaan metode mengajar, dan keterampilan menilai hasil belajar siswa.Yutmini (1992:13) mengemukakan, persyaratan kemampuan yang harus di miliki guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar meliputi kemampuan: (1) menggunakan metode belajar, media pelajaran, dan bahan latihan yang sesuai dengan tujuan pelajaran, (2) mendemonstrasikan penguasaan mata pelajaran dan perlengkapan pengajaran, (3) berkomunikasi dengan siswa, (4) mendemonstrasikan berbagai metode mengajar, dan (5) melaksanakan evaluasi proses belajar mengajar.Hal serupa dikemukakan oleh Harahap (1982:32) yang menyatakan, kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan program mengajar adalah mencakup kemampuan: (1) memotivasi siswa belajar sejak saat membuka sampai menutup pelajaran, (2) mengarahkan tujuan pengajaran, (3) menyajikan bahan pelajaran dengan metode yang relevan dengan tujuan pengajaran, (4) melakukan pemantapan belajar, (5) menggunakan alat-alat bantu pengajaran dengan baik dan benar, (6) melaksanakan layanan bimbingan penyuluhan, (7) memperbaiki program belajar mengajar, dan (8) melaksanakan hasil penilaian belajar.Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar menyangkut pengelolaan pembelajaran, dalam menyampaikan materi pelajaran harus dilakukan secara terencana dan sistematis, sehingga tujuan pengajaran dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar terlihat dalam mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal siswa, kemudian mendiagnosis, menilai dan merespon setiap perubahan perilaku siswa.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi melaksanakan proses belajar mengajar meliputi (1) membuka pelajaran, (2) menyajikan materi, (3) menggunakan media dan metode, (4) menggunakan alat peraga, (5) menggunakan bahasa yang komunikatif, (6) memotivasi siswa, (7) mengorganisasi kegiatan, (8) berinteraksi dengan siswa secara komunikatif, (9) menyimpulkan pelajaran, (10) memberikan umpan balik, (11) melaksanakan penilaian, dan (12) menggunakan waktu.Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melaksanakan proses belajar mengajar merupakan sesuatu kegiatan dimana berlangsung hubungan antara manusia, dengan tujuan membantu perkembangan dan menolong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Pada dasarnya melaksanakan proses belajar mengajar adalah menciptakan lingkungan dan suasana yang dapat menimbulkan perubahan struktur kognitif para siswa.
• b. Kompetensi Melaksanakan Penilaian Proses Belajar Mengajar
Menurut Sutisna (1993:212), penilaian proses belajar mengajar dilaksanakan untuk mengetahui keberhasilan perencanaan kegiatan belajar mengajar yang telah disusun dan dilaksanakan. Penilaian diartikan sebagai proses yang menentukan betapa baik organisasi program atau kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai maksud-maksud yang telah ditetapkan.Commite dalam Wirawan (2002:22) menjelaskan, evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari setiap upaya manusia, evaluasi yang baik akan menyebarkan pemahaman dan perbaikan pendidikan, sedangkan evaluasi yang salah akan merugikan pendidikan.Tujuan utama melaksanakan evaluasi dalam proses belajar mengajar adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan instruksional oleh siswa, sehingga tindak lanjut hasil belajar akan dapat diupayakan dan dilaksanakan. Dengan demikian, melaksanakan penilaian proses belajar mengajar merupakan bagian tugas guru yang harus dilaksanakan setelah kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran, sehingga dapat diupayakan tindak lanjut hasil belajar siswa.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi penilaian belajar peserta didik, meliputi (1) mampu memilih soal berdasarkan tingkat kesukaran,
(2) mampu memilih soal berdasarkan tingkat pembeda, (3) mampu memperbaiki soal yang tidak valid, (4) mampu memeriksa jawab, (5) mampu mengklasifikasi hasil-hasil penilaian, (6) mampu mengolah dan menganalisis hasil penilaian, (7) mampu membuat interpretasi kecenderungan hasil penilaian, (8) mampu menentukan korelasi soal berdasarkan hasil penilaian, (9) mampu mengidentifikasi tingkat variasi hasil penilaian, (10) mampu menyimpulkan dari hasil penilaian secara jelas dan logis, (11) mampu menyusun program tindak lanjut hasil penilaian, (12) mengklasifikasi kemampuan siswa, (13) mampu mengidentifikasi kebutuhan tindak lanjut hasil penilaian, (14) mampu melaksanakan tindak lanjut, (15) mampu mengevaluasi hasil tindak lanjut, dan (16) mampu menganalisis hasil evaluasi program tindak lanjut hasil penilaian.Berdasarkan uraian di atas kompetensi pedagogik tercermin dari indikator (1) kemampuan merencanakan program belajar mengajar, (2) kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan (3) kemampuan melakukan penilaian.
Kompetensi Pribadi
Guru sebagai tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber daya manusia. Kepribadian yang mantap dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut “digugu” (ditaati nasehat/ucapan/perintahnya) dan “ditiru” (di contoh sikap dan perilakunya).Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah (2000:225-226) menegaskan bahwa kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah). Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas kognitif dan keterbukaan psikologis. Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur dalam pengamatan dan pengenalan.Dalam Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah “kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi pribadi meliputi (1) pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama, (2) pengetahuan tentang budaya dan tradisi, (3) pengetahuan tentang inti demokrasi, (4) pengetahuan tentang estetika, (5) memiliki apresiasi dan kesadaran sosial, (6) memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan, (7) setia terhadap harkat dan martabat manusia. Sedangkan kompetensi guru secara lebih khusus lagi adalah bersikap empati, terbuka, berwibawa, bertanggung jawab dan mampu menilai diri pribadi. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan personal guru, mencakup (1) penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya, (2) pemahaman, penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dianut oleh seorang guru, (3) kepribadian, nilai, sikap hidup ditampilkan dalam upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi personal mengharuskan guru memiliki kepribadian yang mantap sehingga menjadi sumber inspirasi bagi subyek didik, dan patut diteladani oleh siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi kepribadian guru tercermin dari indikator (1) sikap, dan (2) keteladanan.
Kompetensi Profesional
Menurut Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi profesional adalah “kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi profesional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, mengemukakan kompetensi profesional guru mencakup kemampuan dalam hal (1) mengerti dan dapat menerapkan landasan pendidikan baik filosofis, psikologis, dan sebagainya, (2) mengerti dan menerapkan teori belajar sesuai dengan tingkat perkembangan perilaku peserta didik, (3) mampu menangani mata pelajaran atau bidang studi yang ditugaskan kepadanya, (4) mengerti dan dapat menerapkan metode mengajar yang sesuai, (5) mampu menggunakan berbagai alat pelajaran dan media serta fasilitas belajar lain, (6) mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pengajaran, (7) mampu melaksanakan evaluasi belajar dan (8) mampu menumbuhkan motivasi peserta didik. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan profesional mencakup (1) penguasaan pelajaran yang terkini atas penguasaan bahan yang harus diajarkan, dan konsep-konsep dasar keilmuan bahan yang diajarkan tersebut, (2) penguasaan dan penghayatan atas landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, (3) penguasaan proses-proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi profesional mengharuskan guru memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi yaitu menguasai konsep teoretik, maupun memilih metode yang tepat dan mampu menggunakannya dalam proses belajar mengajar.Depdiknas (2004:9) mengemukakan kompetensi profesional meliputi (1) pengembangan profesi, pemahaman wawasan, dan penguasaan bahan kajian akademik.Pengembangan profesi meliputi (1) mengikuti informasi perkembangan iptek yang mendukung profesi melalui berbagai kegiatan ilmiah, (2) mengalihbahasakan buku pelajaran/karya ilmiah, (3) mengembangkan berbagai model pembelajaran, (4) menulis makalah, (5) menulis/menyusun diktat pelajaran, (6) menulis buku pelajaran, (7) menulis modul, (8) menulis karya ilmiah, (9) melakukan penelitian ilmiah (action research), (10) menemukan teknologi tepat guna, (11) membuat alat peraga/media, (12) menciptakan karya seni, (13) mengikuti pelatihan terakreditasi, (14) mengikuti pendidikan kualifikasi, dan (15) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.Pemahaman wawasan meliputi (1) memahami visi dan misi, (2) memahami hubungan pendidikan dengan pengajaran, (3) memahami konsep pendidikan dasar dan menengah, (4) memahami fungsi sekolah, (5) mengidentifikasi permasalahan umum pendidikan dalam hal proses dan hasil belajar, (6) membangun sistem yang menunjukkan keterkaitan pendidikan dan luar sekolah.Penguasaan bahan kajian akademik meliputi (1) memahami struktur pengetahuan, (2) menguasai substansi materi, (3) menguasai substansi kekuasaan sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan siswa.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi profesional guru tercermin dari indikator (1) kemampuan penguasaan materi pelajaran, (2) kemampuan penelitian dan penyusunan karya ilmiah, (3) kemampuan pengembangan profesi, dan (4) pemahaman terhadap wawasan dan landasan pendidikan
Kompetensi Sosial
Guru yang efektif adalah guru yang mampu membawa siswanya dengan berhasil mencapai tujuan pengajaran. Mengajar di depan kelas merupakan perwujudan interaksi dalam proses komunikasi. Menurut Undang-undang Guru dan Dosen kompetensi sosial adalah “kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Surya (2003:138) mengemukakan kompetensi sosial adalah kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam kompetensi sosial ini termasuk keterampilan dalam interaksi sosial dan melaksanakan tanggung jawab sosial.Gumelar dan Dahyat (2002:127) merujuk pada pendapat Asian Institut for Teacher Education, menjelaskan kompetensi sosial guru adalah salah satu daya atau kemampuan guru untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing masyarakat dalam menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Untuk dapat melaksanakan peran sosial kemasyarakatan, guru harus memiliki kompetensi (1) aspek normatif kependidikan, yaitu untuk menjadi guru yang baik tidak cukup digantungkan kepada bakat, kecerdasan, dan kecakapan saja, tetapi juga harus beritikad baik sehingga hal ini bertautan dengan norma yang dijadikan landasan dalam melaksanakan tugasnya, (2) pertimbangan sebelum memilih jabatan guru, dan (3) mempunyai program yang menjurus untuk meningkatkan kemajuan masyarakat dan kemajuan pendidikan. Johnson sebagaimana dikutip Anwar (2004:63) mengemukakan kemampuan sosial mencakup kemampuan untuk menyesuaikan diri kepada tuntutan kerja dan lingkungan sekitar pada waktu membawakan tugasnya sebagai guru. Arikunto (1993:239) mengemukakan kompetensi sosial mengharuskan guru memiliki kemampuan komunikasi sosial baik dengan peserta didik, sesama guru, kepala sekolah, pegawai tata usaha, bahkan dengan anggota masyarakat.Berdasarkan uraian di atas, kompetensi sosial guru tercermin melalui indikator (1) interaksi guru dengan siswa, (2) interaksi guru dengan kepala sekolah, (3) interaksi guru dengan rekan kerja, (4) interaksi guru dengan orang tua siswa, dan (5) interaksi guru dengan masyarakat.
This entry was posted on Thursday, January 31st, 2008 at 3:56 am and is filed under Pendidikan. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply


Name (required)
E-mail (will not be published) (required)
Website



Notify me of follow-up comments via email.
Notify me of site updates



• KATEGORI TULISAN
o Manajemen (1)
o Pendidikan (3)
• TULISAN TERBARU
o Teaching Clinic (Klinik Pembelajaran)
o Kompetensi Guru
o Mengangkat Citra dan Martabat Guru
o Kepemimpinan Visioner
• SERING DIBACA
o Kompetensi Guru
o Kepemimpinan Visioner
o Buku
o Teaching Clinic (Klinik Pembelajaran)
• Link...
o E-Lerning Manper
o Google
o Mail Yahoo
o Pikiran Rakyat
o Prodi
o UPI
o WordPress
• KOMENTAR TERAKHIR

Theme Contempt by Vault9.
http://rasto.wordpress.com/2008/01/31/kompetensi-guru/

Sabtu, 23 Januari 2010

sejarah pendidikan Islam dari nabi Muhammad sampai sekarang

I. PENDIDIKAN PADA ZAMAN RASULULAH (SAW)
Pendidikan pada zaman Rasululah (saw) merangkumi tiga perkara asas iaitu pendidikan akidah,pendidikan akhlak dan pendidikan syariah (ubudiyah).
1. Pendidikan di Makkah.
a. Rasulullah (saw) telah menyampaikan ilmu secara sulit kepada ahli keluarga terdekat seperti isterinya Khadijah, sepupunya Ali bin Abi Talib dan beberapa orang yang rapat dengan baginda.
b. Kaedah yang digunakan ketika penyampaian ilmu adalah secara lemah lembut supaya orang ramai tertarik untuk belajar.
c. Rumah al-Arqam ialah tempat pendidikan Islam pertama. Baginda dan sahabatnya sering bermesyuarat bagi mengatur kaedah dan strategi berdakwah.
d. Hampir tiga tahun baginda menyampaikan ilmu secara sulit, lalu diturunkan ayat yang meminta baginda menyampaikannya secara terbuka. Rasulullah (saw) telah menggunakan kaedah berpidato dan berceramah di tempat-tempat yang menjadi tumpuan orang ramai seperti di pasar Ukaz dan di sekitar Kaabah ketika musim haji.
e. Pendidikan di Makkah lebih tertumpu kepada perkara akidah dan akhlak. Akidah ialah kepercayaan yang menghubungkan seseorang dengan penciptanya. Rasulullah (saw) menyampaikan segala perintah Allah (swt) kepada manusia dan menyeru mereka menyembah Allah (swt) semata-mata tanpa melakukan penyekutuan terhadapNya. Selain itu perkara lain yang menyentuh akidah ialah kepercayaan kepada hari pembalasan, mempercayai malaikat, dan kepercayaan kepada untung nasib seseorang samada baik atau buruk.
f. Manakala, aspek akhlak yang diberi penekanan oleh Rasulullah (saw) ialah menganjurkan manusia agar berakhlak mulia kerana akhlak terpuji sahaja dapat berdamping Allah (swt).
g. Baginda mengajar manusia supaya mengamalkan sifat sederhana, tolong menolong, dan selalu bersyukur terhadap nikmat yang dikurniakan oleh Allah (swt).



2. Pendidikan Islam Pada Masa Rasulullah di Madinah
Di dalam pendidikan di Madinah Rasulullah SAW. Menempati dua jabatan yaitu sebagai tokoh agama dan sebagai pemimpin Negara. Yang mana berkaitan mengenai kehidupan sosial masyarakat dan polotik (siyasah).
a. Setelah terbina masjid Quba’ dan Masjid Nabawi, sistem pendidikan Islam mengalami perubahan. Masjid telah menjadi sekolah yang pertama dalam sistem pendidikan lslam.
b. Konsep pendidikan di Madinah lebih tertumpu kepada perkara ibadat dan syariah tanpa melupakan soal-soal yang lain.
c. Dalam pendidikan ibadah, terdapat perkara yang diwajibkan seperti solat Jum’at. Selain itu, terdapat juga perkara yang disunatkan seperti solat hari raya.
d. Pendidikan berpuasa telah bermula pada tahun ke dua Hijrah dan ibadat Haji pula bermula pada tahun keenam Hijrah. Selain itu, pendidikan zakat dan hukum perkahwinan turut diperkenalkan.
e. Selain itu pendidikan membaca dan menulis telah diperkembang. Rasullulah s.a.w telah memerintahkan para sahabat yang pandai menulis dan membaca supaya mencatit dan menulis ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan. Mereka juga di minta supaya mengajar umat Islam yang tidak tahu menulis dan membaca.

II. PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA KULAFA AL-RASYIDIN
Tahun-tahun pemerintahan Khulafa al-Rasyidin merupakan perjuangan terus menerus antara hak yang mereka bawa dan dakwahkan kebatilan yang mereka perangi dan musuhi. Pada zaman khulafa al-Rasyidin seakan-akan kehidupan Rasulullah SAW itu terulang kembali. Pendidikan islam masih tetap memantulkanAl-Qur’an dan Sunnah di ibu kota khilafah di Makkah, di Madinah dan di berbagai negri lain yang ditaklukan oleh orang-orang islam.
Berikut penguraian tentang pendidikan Islam pada masa Khulafa al- Rasyidin:
1. Masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
Pola pendidikan pada masa Abu Bakar masih seperti pada masa Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya. Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah, kesehatan, dan lain sebagainya. Menurut Ahmad Syalabi lembaga untuk belajar membaca menulis ini disebut dengan Kuttab. Kuttab merupakan lembaga pendidikan yang dibentuk setelah masjid, selanjutnya Asama Hasan Fahmi mengatakan bahwa Kuttab didirikan oleh orang-orang Arab pada masa Abu Bakar dan pusat pembelajaran pada masa ini adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai tenaga pendidik adalah para sahabat rasul terdekat.
Lembaga pendidikan Islam masjid, masjid dijadikan sebagai benteng pertahanan rohani, tempat pertemuan, dan lembaga pendidikan Islam, sebagai tempat shalat berjama’ah, membaca Al-qur’an dan lain sebagainya.
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab
Berkaitan dengan masalah pendidikan, khalifah Umar bin Khattab merupakan seorang pendidik yang melakukan penyuluhan pendidikan di kota Madinah, beliau juga menerapkan pendidikan di masjid-masjid dan pasar-pasar serta mengangkat dan menunjuk guru-guru untuk tiap-tiap daerah yang ditaklukan itu, mereka bertugas mengajarkan isi al Qur’an dan ajaran Islam lainnya. Adapun metode yang mereka pakai adalah guru duduk di halaman masjid sedangkan murid melingkarinya.
Pelaksanaan pendidikan di masa Khalifah Umar bin Kattab lebih maju, sebab selama Umar memerintah Negara berada dalam keadaan stabil dan aman, ini disebabkan disamping telah ditetapkannya masjid sebagai pusat pendidikan juga telah terbentuknya pusat-pusat pendidikan Islam di berbagai kota dengan materi yang dikembangkan, baik dari segi ilmu bahasa, menulis, dan pokok ilmu-ilmu lainnya.
Pendidikan dikelola di bawah pengaturan gubernur yang berkuasa saat itu,serta diiringi kemajuan di berbagai bidang, seperti jawatan pos, kepolisian, baitulmal dan sebagainya. Adapun sumber gaji para pendidik waktu itu diambilkan dari daerah yang ditaklukan dan dari baitulmal.
3. Masa Khalifah Usman bin Affan.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah yang tidak diperbolehkan meninggalkan Madinah di masa khalifah Umar, diberikan kelonggaran untuk keluar di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih banyak, sebab pada masa ini para sahabat memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.
Tugas mendidik dan mengajar umat pada masa ini diserahkan pada umat itu sendiri, artinya pemerintah tidak mengangkat guru-guru, dengan demikian para pendidik sendiri melaksanakan tugasnya hanya dengan mengharapkan keridhaan Allah.
4. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Pada masa Ali telah terjadi kekacauan dan pemberontakan, sehingga di masa ia berkuasa pemerintahannya tidak stabil. Dengan kericuhan politik pada masa Ali berkuasa, kegiatan pendidikan Islam mendapat hambatan dan gangguan. Pada saat itu Ali tidak sempat lagi memikirkan masalah pendidikan sebab keseluruhan perhatiannya itu ditumpahkan pada masalah keamanan dan kedamaian bagi seluruh masyarakat Islam.
5. Pusat-Pusat Pendidikan Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin Antara Lain:
1. Makkah
2. Madinah
3. Basrah
4. Kuffah
5. Damsyik (Syam)
6. Mesir.
6. Kurikulum Pendidikan Islam Masa khulafa al Rasyidin (632-661M./ 12-41H)
Sistem pendidikan islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri,tidak dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa Khalifah Umar bin al;khattab yang turut campur dalam menambahkan materi kurikulum pada lembaga kuttab.
Materi pendidikan islam yang diajarkan pada masa khalifah Al-Rasyidin sebelum masa Umar bin Khattab, untuk pendidikan dasar:
a. Membaca dan menulis
b. Membaca dan menghafal Al-Qur’an
c. Pokok-pokok agama islam, seperti cara wudlu, shalat, shaum dan sebagainya
Ketika Umar bin Khattab diangkat menjadi khalifah, ia menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajari:
a. Berenang
b. Mengendarai unta
c. Memanah
d. Membaca dan menghapal syair-syair yang mudah dan peribahasa.
Sedangkan materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari:
a. Al-qur’an dan tafsirnya
b. Hadits dan pengumpulannya
c. Fiqh (tasyri’)

III. SISTEM PENDIDIKAN ZAMAN UMAIYAH
1. Institusi Pendidikan
a. Masjid dijadikan institusi pndidikan utama seperti masjid Kufah dan Basrah.
b. Istana khalifah dijadikan tempat belajar dan perpustakaan yang menyimpan segala bahan bacaan.
c. Bahan bacaan Yunani diterjemahkan dalam kesusasteraan Arab
d. Terdapat juga Khuttab iaitu sekolah permulaan.
2. Terdapat dua jenis khuttab
a. Untuk orang awam yang dikenakan yuran pengajian.
b. Khuttab al-Sabil untuk kanak-kanak miskin yang tidak dikenakan yuran pengajian.
c. Pengajian al-Quran dan asas ilmu agama ditekankan di khuttab.
d. Kaedah pengajian berbentuk Halaqah,iaitu seseorang guru duduk di tengah dan dikelilingi oleh murid-murid.
3. Tenaga Pengajar
a. Guru-guru di masjid mpunyai ilmu pengetahuan yang kukuh dan memiliki pelbagai pengetahuan lain.
b. Mereka mengajar dengan ikhlas tanpa mengharapkan gaji.
c. Guru-guru di Istana di gelar Muaddib dan kurang berpengetahuan berbanding guru-guru di masjid.
d. Mereka bukan sahaja mengajar ilmu tetapi mendidik anak-anak khalifah.
e. Antara ulama yang terkenal yang menjadi guru di masjid ;
1) Abdullah bin Abbas ; ahli tafsir, Hadis, Fekah dan Sastera.
2) Hassan al-Basri ; ahli fekah, usuluddin, dan murid beliau yang terkenal ialah Wasil bin Ata’ iaitu pengasas mazhab Mu’tazillah.
4. Mata Pelajaran Yang Diajar
a. Pengajian seni muzik dan puisi berpusat di Makkah dan Madinah.
b. Pengajian kesusasteraan dan ilmiah berpusat di Kufah dan Basrah. Khutbah, syarahan, dan puisi menjadi subjek yang utama untuk menyampaikan propaganda kerajaan Bani Umaiyah.
c. Semasa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, ilmu falsafah telah diajar.
d. Ilmu Qiraat (ilmu membaca al-Quran) dikembangkan.
e. Ilmu diajar di masjid-masjid di Damsyik, Madinah, Kufah, dan Basrah.
f. Al-Quran juga diletak titik dan tanda serta tanda tanwin dan syaddah. Tugas tersebut dilakukan oleh Nasir bin Asim
5. Sistem Pengajaran
a. Pendidikan secara terbuka di Khuttab dan masjid telah menjadikan rakyat berlumba-lumba mengejar ilmu pengetahuan.
b. Penyebaran agama Islam telah meluas dan perlu kepada sistem pendidikan bagi mengajar penganut-penganut baru agama Islam.
c. Kemunculan ilmu falsafah yang menjadi senjata untuk mematahkan hujah orang Yahudi dan Nasrani.
d. Ilmu sejarah juga membantu perkembangan sistem pendidikan untuk memahami ilmu ketatanegaraan, sistem pemerintahan dan pentadbiran serta memahami peristiwa masa lalu.

IV. PENDIDIKAN ISLAM BANI ABBASIYAH
1. Institusi Pendidikan
a. Pada zaman khalifah Al-Makmun, Baghdad menjadi pusat pendidikan yang masyhur di dunia.
b. Pada zaman khalifah Harun Al-Rasyid, di dirikan Baitulhikmah pusat pengajian dan terjemahan.
c. Di Kaherah terdirinya Dar Al-Hikmah. Di Syria wujudnya madrasah Nuriyah Al-Kubra.
d. Pada tahun 459 Hijrah, sebuah institusi pendidikan tinggi di Naisabur, iaitu Madrasah Nizamiyyah yang didirikan di zaman pemerintahan Bani Saljuk di bawah pimpinan Perdana Menteri Nizam Al-Muluk.
e. Terdapat juga pusat pengajian yang lebih rendah disekitar Baghdad seperti Khuttab dan tempat pengajian umum seperti perpustakaan, istana, kedai-kedai buku dan sebagainya.
2. Tenaga Pengajar
a. Guru dipandang tinggi oleh masyarakat serta diberi gaji yang tinggi.
b. Kebanyakan Khalifah Bani Abbasiyyah mencintai ilmu pendidikan dan kesusasteraan serta menjadi penaung.
c. Pada zaman ini lahir beberapa orang tokoh ulamak seperti Imam Abu Hanifah( 150 Hijrah), Imam Malik( 178 Hijrah), Imam Syafie ( 204 Hijrah), Imam Ahmad ( 241 Hijrah) dan lain-lain.
3. Mata pelajaran yang diajar
a. Di Khuttab, diajar menulis, membaca, mengira serta mengaji dan membaca Al-Quran
b. Di peringkat menengah, semua bidang diajar seperti falsafah, matematik,kimia, dan astronomi.
4. Sistem pengajaran
a. Terbagi kepada dua, iaitu sistem bersekolah dan sistem halaqah.
b. Murid-murid di peringkat sekolah rendah menggunakan batu tulis dan pena batu.
c. Bahan bacaan ialah Al-Quran, beberapa rangkap syair, dan bahan-bahan yang mudah serta kitab nahu dan sastera.
d. Peringkat menengah, peralatan pengajian lebih moden.

V. PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tradisi belajar yang telah ada pada masa Nabi terus berkembang pada masa-masa sesudahnya, dan sebagaimana tercacat dalam sejarah bahwa puncak kemajuannya tercapai pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan al-Makmun yang berpusat di Bagdad, dan pada masa kejayaan ‘Usmaniyah di Spanyol dan Cordova yang berlangsung sekitar delapan abad [711-1492 M] (Hasan Langgulung,1986:13), kemudian sistem pendidikan Islam itu diperluas dengan sistem madrasah yang mencapai puncaknya pada Madrasah Nidzamiyah yang didirikan di Bagdad oleh Nizam al-Mulk (Muhammad Munir Mursi, 1975 : 98).
Kemudian dengan runtuhnya dinasti Abbasiyah maka Islam terpuruk dari kejayaan. Pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir. Umat sibuk “bernyanyi” di bawah payung kebesaran masa lampau dengan sistem politik dinasti yang otoriter. Proses penyadaran kembali terhadap tanggung jawab global umat ternyata memakan tempo yang lama sekali, karena pendidikan yang diselenggarakan sangat konservatif dalam arti menjaga dan melestarikan segala yang bersifat klasik. Daya kritis dan inovatif hampir-hampir lenyap sama sekali dari ruangan madrasah, pondok, dan lembaga pendidikan lainnya di seluruh negeri Muslim.
Dalam pembaharuan dapat dilihat mengenai pendapat seorang tokoh pemikir Islam, yang berpengaruh dalam pembaharuan Islam yaitu Fazlur Rahman yang memiliki latar belakang tradisi keilmuan madrasah India – Pakistan yang tardisional dan keilmuan Barat yang liberal.. Dalam perkembangan pemikirannya, Rahman, tidak hanya melihat perubahan sistem pendidikan di Turki, Mesir dan Pakistan tetapi juga melihat percobaan pembaruan yang dilakukan di Indonesia.
Rahman menilai modernisasi al-Azhar, sebagai sampel lembaga pendidikan ilmu-ilmu keIslaman, sekalipun telah diupayakan semenjak abad ke 19, dapat dikatakan tak berubah dalam prosisi intelektual spiritualnya. Namun menurut Rahman, efek pembaruan pada al-Azhar baru dirasakan dalam lapangan reorganisasi, sistem ujian, dan pengenalan pokok-pokok kajian baru, dan tidak dalam kandungan ilmu-ilmu Islam inti seperti teologi dan filsafat.

sejarah peradaban Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Kekhalifahan islam dipegang oleh Khulafa Ur Rasyidin kemudian diteruskan oleh Bani Umayyah.

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib merupakan awal dari kehancuran umat Islam. Hal ini dikarenakan Muawiyah bin Abu Sufyan merasa tidak puas dengan kebijaksanaan Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika menangani kasus pembunuhan Usman bin Affan. Golongan ini merasa sangat kecewa dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.Akhirnya perselisihan ini memuncak menjadi Perang Jamal. Pereselisihan antara pihak Ali bin Abi Thalib dengan pihak Muawiyah tidak berakhir sampai disitu,akan tetapi perselisihan ini memuncak menjadi Perang Shiffin. Dalam perang itu terjadi peristiwa Tahkim atau Arbitrase.akan tetapi peristiwa ini memunculkan satu golongan yang disebut dengan golongan Khawarij. Golongan ini adalah orang-orang yang kecewa dengan peristiwa Tahkim tersebut dari pihak Ali bin Abi Thalib.

Ali bin Abi Thalib pun dibunuh oleh salah seorang dari kelompok Khawarij tersebut pada tahun 661 M. Meninggalnya Ali bin Abi Thalib membuat Muawiyah mengumumkan dirinya sebagai khalifah yang baru dengan berpusat di Damaskus,Suriah. Akan tetapi,Hasan bin Ali,putra Ali bin Abin Abi Thalib,tidak mau mengakuinya. Hal ini mulai menyulut pertentangan dikalangan umat islam.Akhirnya Hasan bin Ali membuat perjanjian damai dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Peristiwa ini dikenal dengan Aumul Jama'ah dan terjadi pada tahun 41 atau 661 M.

Pada masa Mua’wiyah bentuk pemerintahan dalam memilih pemimpin dari Khalifah Menjadi Kerajaan (sistem keturunan). Pada masa ini Islam sudah makin berkembang Daerah keuasaan semakin luas dan persoalan pemerintahan dan persoalan kehidupan dan semakin kompleks. Muawiyah sangat berambisi untuk dapat menaklukkan Byzantium dengan simbol kekuatannya terdapat di kota Konstantinopel. Ada tiga hal yang merancang Mu’awyah melakukan hal tersebut, yaitu sebagai berikut:

a. Byzantium merupakan basis kekuatan kristen ortodols yang dianggap ddan berbahaya bagi perkembangan Islam.

b. Orang-orang Byzantium suku mejadikan penyerangan terhadap kaum muslimin.

c. Byzantium memiliki kekayaan alam yang amat melimpah ruah.

Puncak kejayaan dinasti umayyah terjadi pada masa-masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705) dan khlifah pertama, yakni Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.

Setelah mengalami kajayaan dan keksuksesan dengan gemilang, dinasti Umayyah akhirnya mengalami kemunduran. Ketika itu pemerintahan di bawah pimpinan khlifah Walid bin Yazid (125-126 H/ 743 – 744 M) bahkan puncak kemunduran dan kehancuran terjadi pada turun 132 H/750 M yakni ketika bani Abbas memporak porandakan dinasti Umayyah.

Dinasti Umayyah berkuasa hampir satu abad,teoatnya selama 90 tahun,dengan empat belas khalifah.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana asal-usul Daulah Bani Umayyah ?

2. Siapa-siapa saja khlifah bani Umayyah berjaya ?

3. Apa saja kebijakan dan karakteristik Daulah ?

4. Apa saja penyebab kemajuan, kemunduran dan kehancuran Daulah Umayyah ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. ASAL-USUL DAULAH BANI UMAYYAH

Nama “daulah Umayyahitu berasal dari nama “Umayyah ibn Abdi syam ibn Abdi Manaf, yaitu seorang dari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman Jahiliyah. Umayyah ini sennariasa bersaing dengan pamannya, Hasyim ibn Abdi Manaf.

Setelah Islam masuk berubahlah hubungan antara bani Umayyah dengan sepupunya bani Hasyim, oleh karena itu persaingan untuk merebut kehrmatan dan kekuasaan tadi berubah menjadi permusuhan yang lebih nyata, bani Umayyah sangat menerang Islam. Namun, golongan bani Hasym sebaliknya mendukung Islam dan menjadi pelindung Rasulullah SAW.

Bani Umayyah barulah masuk Islam ketika kekuasaan Quraisy dipegang penuh oleh bani ‘Abdi Syam, yang mana setelah perang badr semua berada di bawah pimpinannya. Kemudian barulah Umayyah masuk Islam setelah tidak menemukan jalan lain, selain masuk Islam, yaitu ketika nabi Muhammad SAW bersama beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya kepada kerasulan dan pimpinannya, menyerbu masuk kota Makkah.

Setelah Rasulullah wafat. Bani Umayyah pada hakikatnya mengingini jabatan kekhalifahan, tetapi mereka belum mempunyai harapan untuk mencapai cita-cita itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Dan setelah Umar kena tikam, dan jabatan khalifah dipegang oleh Ustman barulah muncul harapan besar dari bani Umayyah, dan semenjak itulah bani Umayyah mulai menegakkan dasar-dasar menegakkan kekhalifahan. Pada masa Usman itulah Mua’wiyah mencurahkan tenaganya untuk memperkuat dirinya, dan mempersiapkan daerah Syam sebagai basis kekuatan yang akan datang.

Ketika khalifah Ustman terbunuh, Mua’wiyah masih berjuang untuk mendapat jabatan, sampai kahirnya Ali dapat dikalahkan dan dengan demikian berpindahlah jabatan kahlifah ke Mu’awiyah yang kemudian dirubah menjadi sistem kerajaan.

B. KHALIFAH-KHALIFAH DAULAH UMAYYAH

Bani Umayyahitu terdiri atas dua cabang, merekalah yang memegang jabatan khaifah itu. Cabang pertama ialah keluarga Harb ibnu Umayyah, dan cabang kedua adalah Abul “Ash ibn Umayyah kebanyakan khalifah bani Umayyah adala berasal dari cabang yang kedua. Adapaun dari cabang pertama hanyalah Mu’awiyah, puteranya Yazid dan cucunya Muawiyah II.

Yazid

126 H

Ibrahim

126 H

Al Walid II

125 H – 126 H


1. Muawiyah ibn Abi Sufyan {661-681 M}

Muawiyah ibn Abi Sufyan adalah pendiri Daulah Bani Umayyah dan menjabat sebagai Khalifah pertama. Ia memindahkan ibu kota dari Madinah al Munawarah kekota Damaskus dalam wilayah Suriah.

Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel

Jasa dari Mua’wiyah adalah menjadikan Damaskus sebagai pusat pemerintahan bani Umayyah. Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai kesungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke Ibu Kota Bizantium, Konstantinopel

2. Yazid ibn Muawiyah {681-683 M}

Lahir pada tahun 22 H/643 M. Pada tahun 679 M,Muawiyah mencalonkan anaknya, Yazid, untuk menggantikannya. Yazid menjabat sebagai khalifah dalam usia 34 tahun pada tahun 681 M. Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Pada tahun 680 M, ia pindah ke Kufah atas permintaan golongan Syi'ah yang ada di Irak.

3. Muawiyah ibn Yazid {683-684 M}

Muawiyah ibn Yazid menjabat sebagai khalifah pada tahun 683-684 M dalam usia 23 tahun.

4. Marwan ibn Al-Hakam {684-685 M}

Ia pernah menjabat sebagai penasihat Khalifah Ustman bin Affan. Untuk mengukuhkan jabatannya,maka ia sengaja mengawini janda Khalifah Yazid, Ummu Khalid.

5. Abdul Malik ibn Marwan {685-705 M}

Pada masa pemerintaha Abdul Malik bin Marwan,pemberontakan-pemberontakan kaum Syi'ah masih berlanjut. Yang termasyhur di antaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685 - 687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali, yaitu umat Islam bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia dan lain-lain yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga negara kelas dua. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik.

6. Al-Walid ibn Abdul Malik {705-715 M}

Masa pemerintahan Walid ibn Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketetertiban. Al-Walid Ibn Abd Abdul Malik (705M-714M). Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Dia memulai kekuasaannya dengan membangun Masjid Jami’ di Damaskus. Masjid Jami’ ini dibangun dengan sebuah arsitektur yang indah, dia juga membangun Kubbatu Sharkah dan memperluas masjid Nabawi.

Pada masa pemerintahannya terjadi penaklukan yang demikian luas, penaklukan ini dimulai dari Afrika utara menuju wilayah barat daya, benua eropa yaitu pada tahun 711M. Setelah Al Jazair dan Maroko dapat ditaklukkan, Tariq Bin Ziyad pemimpin pasukan islam dengan pasukannya menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan Benua Eropa dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal nama Bibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan, dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi.

7. Sulaiman ibn Abdul Malik (715-717 M)

Menjadi khalifah pada usia 42 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama 2 tahun, 8 bulan. Ia tidak memiliki kepribadian yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi penasihat-penasihat di sekitar dirinya.

8. Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M)

Menjabat sebagai khalifah pada usia 37 tahun. Ia terkenal adil dan sederhana. Dijaman Umar Ibn Ab Al-Aziz masa pemerintahannya diwarnai dengan banyak Reformasi dan perbaikan. Dia banyak menghidupkan dan memperbaiki tanah-tanah yang tidak produktif, menggali sumur-sumur baru dan membangun masjid-masjid. Berkat ketaqwa’an dan kesalehannya, dia dianggap sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin.

Penaklukan dimasa pemerintahannya pasukan islam melakukan penyerangan ke Prancis dengan melewati pegunungan Baranese mereka sampai ke wilayah Septomania dan Profanes, lalu melakukan pengepungan Toulan sebuah wilayah di Prancis. Namun kaum muslimin tidak berhasil mencapai kemenangan yang berarti di Prancis.

9. Yazid ibn Abdul Malik (720-724 M)

Masa pemerintahannya berlangsung selama 4 tahun, 1 bulan. Ia adalah seorang penguasa yang sangat gandrung terhadap kekuasaan.

10. Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M)

Menjabat sebagai khalifah pada usia yang ke 35 tahun. Ia terkenal sebagai seorang nearawan yangcakap dan ahli militer. Hisyam bin Abdul Malik Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.

11. Walid ibn Yazid (743-744 M)

Masa pemerintahannya selama 1 tahun, 2 bulan. Ia adalah salah seorang khalifah yang berkelakuan buruk.

Beliau seorang penyair yang istimewa, namun, judul yang terpenting dari sya’irnya hanya masalah-masalah yang tidak berarti, bakatnya disalurkan kepada pembicaraan yang berisi mencaci maki terhdap Hisyam.

12. Yazid ibn Walid (Yazid II) (744 M)

Masa pemerintahannya berlangsung selama 16 bulan dan dia wafat pada usia 46 tahun. Selain itu, masa pemerintahannya penuh kemelut dan kekacauan.

13. Ibrahim ibn Malik (744 M)

Pada masa pemerintahannya keadaan negara semkin kacau dan dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.

14. Marwan ibn Muhammad (745-750M)

Beliau seorang ahli negara yang bijaksana dan seorang pahlawan. Beberapa pemberontak berhasil ditumpasnya , tetapi dia tidak mampu menghadapi gerakan Bani Abbasiyah yang telah kuat pendukungnya. Dan akhirnya runtuhlah kerajaan dinasti Umayyah.

C. KEBIJAKAN DAN KARAKTERISTIK DAULAH

Adapun kebijakan para khalifah Daulah Umayyah yang menjadikan Daulah Umayyah maju sekaligus sebagai penciri atau karakter daulah tersebut adalah:

  1. Pada masa Mu'awiyyah tergolong cemerlang. Ia berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dan mengatarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran serta kekayaan meliputi perluasan wilayah hingga Afrika Utara, wilayah Khurasan dan Bukhara (Turkistan) setelah menyeberangi sungai Oxus .
  2. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand.Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat me¬nguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan. . Selain itu, Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
  3. Selain melakukan pembenahan administrasi pemerintahan, Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.
  4. Pada masa pemerintahan Walid menampakkan kejayaan Dinasti Umayyah. Wilayah kekuasaannya pun bertambah luas sampai ke Spanyol di Barat dan Sina ( India ) di Timur.. Dia membangun panti untuk orang cacat, juga membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan yang megah dan masjid-masjid.
  5. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, dia melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, speerti perbaikan lahan pertanian, penggalian sumur baru, penginapan bagi musafir dan lain-lain..

D. KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DAULAH UMAYYAH

Ada beberapa faktor yang menyebabkan dinastibani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain adalah:

1. Sistem pengggantian khlifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradsisi Arab yang lebih menekankan aspek senoritias. Pengaturannya tidak jelas. Ketidak jelasan sisitem penggantian khlifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota istana.

2. Latar belakng terbentuknya dinasti Umayyah tidak bisa dipsahkan dari konflik-konflik politk yang terjadii dimasa Ali Ibn Abi Thalib. Sisa-sisa Syiah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka aseperti awal dan akhir mapun secara sembunyi seperti di masa pengtengahan bani Umayya. Penumpasan terhadap gerakan ini menyedot perhatian pemrintah.

3. Pada masa kuasa bani Umayyah, pertengahan etis antara sukuArabia Utara (bani Qays) dan Arabia selatan (bani Kalb) yang sudah sejak lama sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihanini mengkibatkan pera penguasa bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu sebagian besar.

4. Golongan Mawali (non Arab) terutama diIrak dan wilayah bagian timur lainnya meraa tidak puas karen status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengankeangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada maa baniUmayyah.

5. Lemahnya pemeriuntahan daulat bani Umayah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dikalangan kerajaan sehingga anak-anak khlifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatakala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, golongan afama banyak yang kecewa karena perhatian pengusa terhadap perkembangan agama sangat kurang.

6. Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Umayyahadalah munculnya kekuatan baru yang dipeloopori keturunan al Abbas Ibn Abdl al Mutholib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari bani Hasyim dan golongan Syia’ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan bani Umayyah.

BAB III

PENUTUP

Daulah bani Umayyah I didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan. Khalifah yang memimpin Daulah ini ada 14 orang. Selain itu, masing-masing khalifah ada yang membuat kemajuan dan ada juga yang menyebabkan kemunduran Daulah Umayyah. Salah satu kemajuan yang di capai oleh daulah ini adalah berhasilnya menetaokan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan mendirikan mesjid agung di Damaskus.

Salah satu penyebab kehancuran dan runtuhnya daulah ini adalah . Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Selain itu, kuatnya pemberontakan yang dilakukan Bani Abbasiyah sehingga tidak mampu lagi dipertahankan.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.cybermq.com/pustaka/detail//150/khilafah-bani-umayyah-masa-kemajuan-islam

http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah#Daulah_Bani_Umayyah_.28Masa_Kemajuan_Islam.29

http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah

A. Syalabi. 1424/2003. Sejarah Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al Husna Baru.