A. PENDAHULUAN
Allah telah menetapkan hukum bagi hamba-hamba Nya sekirannya tidak untuk kemasalahatan hamba itu. Kemaalahatan hamba inilah yang menjadi tujuan akhir diciptakan suatu perundang-undangan. Karena itu apabila ada suatu ‘illat suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.dan diduga keras pula dapat memberikan kamas lahatan kepada hamba. Oleh karena itu tidak mungkin nash-nash yang terbatas itu dijadikan sebagai sumber tehadap kejadian-kejadian yang tidak terbatas. Dengan demikian Qiyas merupakan sumber perundang-undangan yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru yang dapat menyesuaikan kemaslahatan.
Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Oleh karena itu, jika dilarang minum suatu minuman disebabkan karena mnuman yang mengandung sifat yang memabukkan. Maka logislah kalau setiap meinuman yang mangandung sifat sifat yang memabukkan diqiyaskan dengan minu man tersebut. Tidak terdapat perselisihan diantara manusia bahwa sesuatu yang berlaku pada salah satu dar dua hal yang serupa. Qiyas itu adalah didasarkan kepada zhann (dugaan kerasa) karena illat hukum suatu peristiwa yang mempu nyai nash itu pun berdasarkan dugaannya adalah haram. Qiyaskan kepada larangan mengahrdik mereka.
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggalli hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tan[a mengakaitkannya kepada nash. Maskipun qiyas tidak menggunakn nash secara lansung.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum diluar bidang ibadah, dapat diketahui. Alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah alasan hukum yang rasional itu oleh ulama disebut “illat”. Disamping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa ialaah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul ifqh membe rikan definisi yang berbeda-beda tergantung pada pandangan mereka terha dap kedudukan qiyas dalam istimbath hukum.
Dalam hal ini mereka membagi dua golongan.
Golongan pertama, menytakan bahwa qiyas merupakan ciptaan manusia, yakni pandangan meujtahid. Sebaliknya menurut golongan kedua, qiyas merupakan diptaan syari’. Yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan Hujjat Ilahiyah”.
Menurut istilah ushul fiqh, sebagaimana dikemukakan Qabbah Ad-Zuhaili. Qiyas adalah menghubungkan atau menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya karena ada persamaan illat antaa keduanya.
Ibn Subki mengemukakan dalam kitab Jam’u Al-Jawami” qiyas adalah:
حمل معلوم على معلوم لمسا داته فى علة حكمه عند الحامل
Menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kasamaan dalam iilat hukumnya menurut mujtahid yang menghubung kannya”.
Dari bebrapa definisi qiyas di atas diketahui hakikat qiyas yaitu ada dua kasus hukum yang mempunai illat hukum yang sama. Salah satu dari dua kasus hukum yang sama illatnya itu telah ada hukumnya di dalam nash, sementara kasus lain tidak ditetapkan hukumnya secara tegas oleh nash tertentu lalu disamakan hukum yang telah ada nashnya karena ada kesamaan illat antara keduanya”.
2. Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyas dimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat pada kasus yang memiliki nash, cara ini memerlukan kerja keras yang luar biasa dan tidak cukup hanya denan pemahaman makna lafadz saja. Selanjutnya, mujtahid mencari dan meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash nya, apabila ternyata ada illat itu, Faqih menggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu didasarkan keadaan illat. Dengan demikian yang dicari mujtahid disini adalah illat hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
Selanjutnya jika illat tersebut ternyata betul-beul terdapat pada kasus-kasus itu adalah satu. Yakni ketentuan hukum yang terdapat pada nash (makhshus alaih) menjalar pada kasus-kauss yang tidak ada nashnya”.
3. Rukun Qiyas
Sebagai dalil istimbath hukum, ada empat tukun yang harus terwujud dalam qiyas, yaitu, ashl, hukum ashl, furu’, dan illat.
a. Ashl
Ashl merupakan masalah yang telah ditetapkan hukumnya dalam Al Qur’an ataupun Sunnah. Ia disebut pula dengan maqis’alaih (tempat mengqiyaskan) adapun sontoh ashl adalah kesamaran khamar yang ditegaskan hukumnya melalui fiman Allah surat Al-maidah:90
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
b. Hukum Ashl adalah hukum syara’ yang terdapat pada ashl yang ditetapkan nash atau ijma’ yang hendak diberlakukan pada furu’ (cabang) dengan cara qiyas. Menurut Abu Zahrah hukum ashl itu harus memenuhi syarat berikut.
1) Hukum ashl harus hukum syara’ yang berkaitan dengan amal perbuatan.
2) Hukum ashl tersebut dapat ditelusuri illat (motivasi) hukumnya.
c. Furu’
Furu’ atau cabang adalah sesuatu masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al qur’an, sunnah dan ijma yang hendak ditemukan hukumnya melalui qiyas.
Adapun syarat-syarat furu’ itu sebagai berikut.
1. Tidak ada nash atau ijma’ yang menjelaskan tantang hukum furu’ atau cabang.
2. Tidak illat yang terdapat pada cabang sama dengan illat yang terdapat pada cabang sama dengan illat yang terdapat pada ashl, baik dalam zat nya maupun jenis nya.
3. Hukum cabang yang ditetapkan melalui qiyas harus samaaa dengan hukum ashl sebagai terdapat mengqiyaskannya.
d. Illat
Illat secara bahasa berarti sesuatu yang bisa berobah keadaan, misalnya penyakit disebut illat karena sifatnya merubah kondisi seseorang yang terkena penyakit. Menurut istilah, sebagaimana dikemukakan Abdul Wahab Khallaf illat adalah suatu sifat pada ashl yang menjadi landasan adanya hukum.
4. Qiyas Sebagai Landasan Ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyas apabila dijadikan sandaran ijma’, diantaranya mereka yang megatakan bahwa qiyas itu tidak sah dijadkan sandaran ijma. Dengan argumen bahwa ijma’ itu qath’I, sedangakan dalil qiyas adalah zhanni. Menurut kaidah yang Qath’i itu tidak sah didasarkan pada yang zhanni.
Para ulama yang mengatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma’. Beragumen bahwa dal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama. Para sahabat setelah wafatnya nabi besar Muhammad SAW. Berbeda pendapat tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya sebagai khalifah. Adapun mereka yang menyatakan ijma’ itu adalah dalil Qath’i, sedangkan qiyas adalah dalil zhanni tidak bisa diterima, karena kabar ahad juga termasuk zhanni, tetrapi para ulama menyatakan sah dijadikan sandaran ijma”.
5. Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama berpendirian bahawa qiyas itu adalah menjadi hujjah syar’iyah (sumber hukum syriat) bagi hukum-hukum amal perbuatan manusia dan berada pada tingkatan keempat dari dalil-dalil syariyat, yag demikian itu apabila pada suatu peristiwa itu tidak ada ketetapan hukumnya dari suatu nash atau ijma’ dan mem[unyai persamaan illat dengan peristiwa yang mempunyai nash. Golongan ini menetapkan kehujjahan qiyas)
Ulama nizhamiyah, zhahiriyah dan sebagian ulama aliran syiah berpendapat bahwa qiyas itu bukan menjadi hujjah syar’iyah yang dapat untuk menetapkan hukum. Mereka ini keudian terkenal dengan nama Nfatul qiyas (golongan yang mengingkari/menafikan kehujahan qiyas). Alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjahan qiyas terdri atas Al Qur’an, as sunnah, pendapat dan perbuatan para sahabat dan logika. Ialah
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa:59)
Dalam ayat tersebut Tuhan memrintah kepada orang-orang mu’min, bila terjadi perselisihan pendapat perihal hukum sesuatu peristiwa yang di dalam Al Qura’an, as sunnah dan keputusan dari orang –orang yang diserahi kejuasaan tidak ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah an Rasul Nya.
6. Macam-Macam Qiyas
Menurut Wahbah Al Zuhaili. Dilihat dari segi perbandingan antara illat yang terdapat pada ashl dan yang terdapat pada cabang maka qiyas terbagi menjadi tiga macam:
a. Qiyas aula yaitu yang terdapat pada furu’ lebih utama dari illat yang tedapat pada ashl misalnya, mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang uta, kepada haram hukum mengatakan “ah” yang terdapat pada firman Allah surat An Isra’ 17-25
فلا تقل لهما أف ولا تنهر هما
Artinya: Maka sekali-kali jangan lah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka.
b. Qiyas Musawi, yaitu illat yang terdapat pada cabang sama bobotnya dengan illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, firman Allah yang terdapat pada surat An Nisa:10
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim dengan illat dapat melenyapkan harta tersebut.
c. Qiyas al ِِAdna, yaitu illat yang terdapat pada cabang lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan illat yang terdapat pada ashl, misalnya firman Allah surat Al Maidah ayat 90 tentang larangan meminum kahmar denan illat memabukkan.
Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam.
a. Qiyas jalli, yaitu qiyas yang dinyatakan illatnya secara tegas dalam Al Quran dan sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan illatnya.
b. Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya diistimbathkan atau ditarik dari hukum ashl. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tumpul kepada pembunuha yang menggunakan benda tajam karena ada kesamaan illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagai mana terdaapt pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.
7. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara’ untuk menetapkan hukum. Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum.
Syara’ Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok yaitu:
a. Kelompok jumhur ulama yang menjadian qiyas sebagai dalil syara’ mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al Qur’an atau sunnah dan dalam ijma’ ulama, mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan ‘Ilat suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tuujuan diterapkan suatu hukum syara’.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah merekapun berusaha menggabungkan dua hal yang terlihat kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga qiyas dapat membatasi sebagaian ayat al Qura’an atau sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’ adalah:
1) Dalil al Qur’an
Allah SWT memberikan petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menggunakan dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Yasin, ayat 78-79
Artinya: Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.
2) Dalil sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas, adalah:
Hadist mengenai percakapan nabi dengan Muaz ibn Jabbal saat ia diutus ke Yaman untuk menjadi pengurusan di sana..
Kelompok ulama Zhahiriyah juga menilai bahwa hadist tersebut salah maudhu’ (di buat-buat) dan jelas kebohonganya, karena musatahil ada hukum yang tidak ada dalam al Qura’an surat al an ‘aam: 38
مَا فَرَطْنَا فِى الْكِتَبِ مِنْ شَئ
Artinya: Tiada kami alpakan sesuatu apaun di dalam al Kitab (al Qur’an).
3) Atsar shahabi
Adapun argumen jumhur ulama berdasarkan atsar sahabat.
Dalam penggunaan qiyas adalah.
Surat Umar ibn Khattab kepada Abu Musa al Asy’ari sewaktu ditulis menjadi qadhi di Yaman, Umar berkata.
إقض بكتاب الله فإن لم بجد فبسنة رسول الله فإن لم بجد فجتهم رأيك
Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah, Ia tidak menemukannya maka putuskan berdasarkan sunnah Rasulnya. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam sunnah berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu”.
8. Syarat-Syarat Qiyas
Membicarakan syarat-syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada setiap rukun atau unsure-unsur dari qiyas itu sebagaimana telah disebutkan adalah:
a. Maqis alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya
Dalam memberikan nama kepada maqis alaih itu trdapat beberapa pendapat, ada yang menamakannya ashl (sesuatu yang dihubungkan kepadanya sesuatu yang lain). Ada juga yang menggunakan istilah محل لحكم المشيه به (wadah atau tempat yang wadah itu terdapat hukum yang disamakan kepada wadah itu).
Meskipun demikian ada juga ulama yang mengemukakan persyaratan sebagai berikut:
1) Ada dalil atau petunjuk yang membolehkan mengqiyaskan sesuatu kepadanya, beik secara ra’yu dan sayakhisi (lingkungan yang sempit atau maksud terbatas).
2) Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya illat pada ushul maqis alaih itu.
Persyaratan ini dikemukakan Basyir al-Nasiri (Basyir ibn Giyas bin Abi Karimah), salah seorang tokoh kelompok mubtadi’ah.
b. Maqis (sesuatu yang akan dlaksanakan hukumnya dengan aslh)
Untuk maqis ini kebanyakan ulama menggunakan kata “furu’” ( sesuatu yang dibangun atau dihubungkan kepada sesuatu yang lain) ada yang menyatakan bahwa maqis adalah المشيه محل (wadah yang hukum yang diserupakan dari yang lain). Ada pula yang meyatakan nya محل المشيه لحكم (hukum dari wadah yang disamakan).
Untuk maqis ini terdapat beberapa syarat, sebagian dari syarat itu disepakati para ulama dan sebgaian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu, syarat-syarat maqis itu adalah sebagai berikut:
1) Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan illat yang harus terdapat pada ashl.
2) Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashl dalam hal illat maupun hukum, baik menyangkut ‘ain atau jenis.
C. KESIMPULAN
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al Qur’an dan sunnah itidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Dari uraian tentang beberapa definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas menurut dua versi yaiut:
1. Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.
2. Satu diantara dua kasus yang bersamaan illatnya itu sudah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui hukumnya.
3. Berdasarkan illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus yang tidak ada nashnya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.
Qiyas terdiri dari
a. Pengertian qiays
b. Operasional qiyas
c. Rukun qiyas
d. Qiyas sebagai sandaran ijma’
e. Kehujjahan qiyas
f. Macam-macam qiyas
g. Qiyas sebagai dalil hukum syara’
h. Syarat-syarat qiyas.
Kamis, 20 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar